ust reza abdul fattah
الحمد لله رب
العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين وعلى اله وأصحابه اجمعين. أما بعد
Saudaraku
IKAPPI khususnya dan kaum muslimin umumnya
Saat ini kita sedang disuguhkan sebuah fenomena dari sekelompok
orang yang menisbatkan kelompok mereka dengan nama Salafy, padahal
hakikatnya mereka adalah kaum Talafy(perusak) hal
ini dikarenakan banyak permasalahan dalam bidang agama yang justru mereka(salafi
wahabi.red) menyelisihi para pendapat ulama Salafusholih yang sesungguhnya,
seperti dalam masalah hukum sholat di dalam masjid yang ada kuburan/makamnya.
Sebagaimana banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, para
Salafi Wahabi mengharamkan sholat di dalam masjid yang memiliki maka di
dalamnya atau di depan area masjid dan merekapun mewajibkan pengikutnya untuk
menghancurkan masjid yang memiliki makam tersebut, hal ini sebagaimana terjadi
di Libya, di mana para golongan tersebut menghancurkan masjid, makam waliyullah
Sayyidina Asy-syeikh Abdussalam Al-asmar, perpustakaan, dan zawiyah sufi
beberapa waktu lalu, mereka menghancurkan itu atas nama memerangi kemusyrikan,
karena mereka menghukumi bahwa sholat di masjid yang ada makam, baik itu maka
orang sholih dari para waliyullah dan ulama itu sebagai perbuatan yang syirik
yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Lalu apa sebenarnya hukum membangun masjid yang ada kuburannya? Dan
bagaimana hukum sholat di dalamnya? Dan bagaimanakah pendapat para Ulama
mu’tabaroh(As-salafushsholih yang sesungguhnya) atas masalah ini? Tulisan ini
insyaAllah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dan tulisan ini
sesungguhnya adalah saduran dari kitab “المتشددون:
منهجهم ومناقشة أهم قضاياهم ktab ini adalah karya tulis Mufti Republik
Mesir yaitu Al-‘alim Al-‘Allamah DR. Nuruddin Ali Jum’ah,dan saya hanya
menyadurnya saja. Semoga tulisan ini bisa menjadi hujjah yang baik atas
permasalahan-permasalahn di atas, dan tulisan ini bukan untuk mengadu domba
antar sesama golongan, namun hanya sebagai hujjah atas suatu permasalahan dalam
agama. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
قل هاتوا برهانكم غن
كنتم صادقين
Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi kawan-kawan IKAPPI khususnya dan para
muslimiin dan muslimat pada umumnya
Tunisia, 30-Agustus-2012
Al-haqiir ‘indallah Reza Abdul fattah
Sebagamana telah kami tuliskan dalam prolog di atas bahwa saat ini
kita sedang menghadapi suatu golongan yang mengharamkan membangun masjid yang
ada makamnya dan mengatakan bahwa sholat di dalamnya tidak sah dan memvonis
pelakunya sebagai kafir. Maka, kami akan menukilkan pendapat para ulama tentang
hukum dari permasalahan di atas.
Para ulama as-salafu ash-shoolihuun telah sepakat (ijma’)[1]
bahwa sholat di dalam masjid yang ada makam atau kuburanya baik itu kuburan
para Nabi, Awliya, dan Sholihiin itu SAH, diSYARIATKAN bahkan ada terkadang
sampai kepada derajat MUSTAHAB. Adapun dalil-dalil yang mensyari’atnkan atau
mensahkan permasalahan di atas adalah sebagai berikut:
1.
Dalil Al-Qur’an.
Adapun dalil dari Al-qur’an adalah firman Allah Ta’aala pada surah
Al-kahfi ayat 21:
فقالوا ابنوا عليهم
بنيانا ربهم أعلم بهم قال الذين غلبوا على امرهم لنتّخذنّ عليهم مسجدا.
Wajhul istidlal
dari ayat di atas adalah: bahwasanya ayat tersebut mengisyaratkan pada kisah
Ashhabul Kahfi, yaitu ketika sebagian orang-orang memperlihatkan tentang
Ash-habul kahfi, lalu ada dua golongan, golongan yang pertama mengatakan:
“bangunlah di atas gua Ashhabul kahfi sebuah bangunan. Lalu golongan yang ke
dua mengatakan: “bahkan kami akan menjadikannya sebagai masjid”.
Berikut adalah
penafsiran Ulama mu’tabar atas ayat ini:
a.
DR. Nuruddin Ali Jum’ah menjelaskan bahwa redaksi dari ayat di atas
menunjukan bahwa redaksi yang pertama adalah perkataan kaum musyrikin(yang
memerintahkan membangun sebuah bangunan) sedangkan redaksi yang ke dua adalah
ucapan Ahli Attauhiid (yang ingin membangun sebuah masjid di atas gua Ashhabul
kahfi), tak dapat dipungkiri bahwa ayat ini mengutarakan dua ucapan (ucapan
orang musyrik dan ucapan ahli tauhid/mu’min), jika memang dari ucapan kedua
golongan tersebut mengandung sesuatu yang bathil maka selayaknya akan ada ayat
lain yang menunjukan kebathilan dari ucapan golongan-golongan tersebut,
sedangkan penetapan ayat ini terhadap kedua redaksi tersebut menunjukan bahwa
telah ada syari’at bagi kedua golongan itu, bahkan ayat tersebut mengutarakan
ucapan ahli tauhid dengan redaksi pujian, dalilnya adalah bahwa adanya sikap
saling menerima antara ucapan ahli tauhid dan ucapan orang musyrik yang penuh
dengan keraguan, artinya adalah bahwa orang musrik menerima keinginan golongan
ahli tauhid untuk membangun sebuah masjid di dalam gua tersebut, hali ini bahwa
orang mu’min bukan hanya menginginkan mendirikan sebuah bangunan, akan tetapi
mereka ingin membangun sebuah masjid, dan ucapan ini menunjukan bahwa
orang-orang ahli tauhid ini adalah orang-orang yang ‘Arif billah dan mereka
adalah orang-orang yang mengenalkan diri mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla
dengan ibadah dan sholat..
b.
Al-imam Ar-Rozi dalam menafsirkan لنتخذنّ عليهم مسجدا mengatakan:
نعبد الله فيه
ونستبقي آتار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد
Artinya: Kami
menyembah Allah dan meminta pengabadian peninggalan-peninggalan Ashhabul Kahfi
dengan sebab masjid tersebut.[2]
2.
Dalil dari hadits Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun dalil
yang bersumber dari hadits Rosulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hadits Abi Bashir yang diriwayatkan oleh Az-zuhri:
إنّ أبا بصير انفلت من المشركين بعد صلح الحديبية، وذهب إلى سيف
البحر ولحق به أبو جندل بن سهيل بن عمرو انفلت من المشركين أيضا، ولحق بهم أناس من
المسلمين حتى بلغوا ثلاثمائة وكان يصلي بهم أبو بصير. كان يقول:
" الله العلي الأكبر من ينصر الله ينصر"
فلما لحق به أبو جندل كان يؤمهم، وكان لا يمر بهمعير لقريش إلاّ أخذوها وقتلوا أصحابها فأرسلت قريش إلى النبي صلى الله عليه وسلم تناشده الله والرحم إلا أرسل إليهم فمن أتاك منهم فهو آمن، وكتب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي جندل وأبي بصير ليقدما عليه ومن معهم من المسلمين ان يلحقوا ببلادهم وأهليهم، فقدم كتاب رسول الله صى الله عليه وسلم على أبي جندل، وأبو بصير يموت، فمات وكتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده يقرؤه، فدفنه أبو جندل مكانه، وبنى على قبره مسجدا".[3]
" الله العلي الأكبر من ينصر الله ينصر"
فلما لحق به أبو جندل كان يؤمهم، وكان لا يمر بهمعير لقريش إلاّ أخذوها وقتلوا أصحابها فأرسلت قريش إلى النبي صلى الله عليه وسلم تناشده الله والرحم إلا أرسل إليهم فمن أتاك منهم فهو آمن، وكتب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي جندل وأبي بصير ليقدما عليه ومن معهم من المسلمين ان يلحقوا ببلادهم وأهليهم، فقدم كتاب رسول الله صى الله عليه وسلم على أبي جندل، وأبو بصير يموت، فمات وكتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده يقرؤه، فدفنه أبو جندل مكانه، وبنى على قبره مسجدا".[3]
DR. Ali Jum’ah
menjelaskan bahwa: Hadits ini menceritakan nahwa ketika Abu bashir wafat lalu
Abu jandal membangunkan sebuah masjid di atas kuburannya dan ketika itu
dihadiri oleh sekitar 300 orang sahabat, hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh
Mua bin Uqbah dalam “maghoozinya” dari Azzuhry dari Urwah bin Zubair dari
Miswar bin Mukhromah dan Marwan bin Al-hakam Rodhiyallahu ‘anhum, dan mata
rantai periwayatan ini semuanya shohih dan semua perawinya adalah para A_immah
tsiqoot kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan ini
sebagai sunnah dan tidak memerintahkan mereka untuk mengeluarkan kuburan Abi
Bashir dari dalam masjid dan juga tidak memerintahkan untuk meratakannya dengan
tanah, dan kemudian amalan ini (membangun masjid di atas kubur) berlanjut dari
masa ke masa tanpa ada pertentangan.[4]
3.
Perbuatan para sahabat.
Adapun dalil
yang selanjutnya adalah apa yang dilakukan oleh para sahabat dalam masalah ini.
Adapun
perbuatan para sahabat rodhiyallahu ‘anhum dalam masalah ini adalah
sangat jelas dan nampak dari sikap mereka saat memakamkan Sayyidana Rosulallahi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Al-Imam Malik RA tentang perbedaan pendapat
para sahabat tentang lokasi pemakaman Rasulullah SAW, maka Imam Malik RA
berkata: (“Orang-orang telah berkata: “ Rasulullah dimakamkan di mimbar”. Lalu
yang lai berpendapat: “Rasulullah SAW harus dimakamkan di Baqi”. Lalu datanglah
Sayyiduna Abu Bakar Ash-shiddiq RA seraya berkata: “tidak pernah sama sekali
seorang Nabi dikubur kecuali di tempat ia wafat, maka dibumikanlah di
dalamnya’.[5]Adapun
wajhul istidlalnya adalah; bahwa para Sahabat ridhwanullahi ‘alaihim mengusulkan
agar Rasulullah Saw dimakamkan di sisi mimbar beliau, dan tentunya itu berada
di dalam masjid, dan tidak ada satu orang pun yang menentang usul ini, adapun
yang mengusulkan untuk dimakamkan di Baqi itu bukan bentuk penentangan,
melainkan hanya sebuah usul, ataupun yang diucapkan oleh Sayyiduna Abu Bakar
Ash-shiddiq RA bahwa beliau tidak menyetujui usul ini, namun ketidak setujuan
beliau bukan sebagai bentuk penentangan dan pengharaman memakamkan Nabi di
dalam masjid, melainkan sebagai bentuk penerapan apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah SAW dimana beliau ingin dikibur ditempat beliau wafat.
Dan setelah
para Sahabat ridhwanullahi ‘alaihim menetapkan lokasi pemakaman baginda
Rosulullah SAW yaitu di kamar Siti Aisyah, maka kita akan mendapati suatu
fakta, bahwa kamar Siti Aisyah itu bersambung dengan masjid yang digunakan oleh
kaum muslimin untuk sholat. Maka kaum musliminpun melaksanakan sholat di dalam
masjid yang menempel dengan kamar Siti Aisyah yang di dalamnya terdapat kubur
jasad mulia jasad Baginda Nabi Muhammad SAW. Dan tatkala sayyduna Abu Bakar RA
wafat beliaupun dimakamkan di samping makam Nabi SAW, maka masjid itu menjadi
tersambung dengan dua kubur, dan tatkala Sayyduna Umar bin Khothob wafat ia pun
dimakamkan disamping makam Nabi Saw, maka masjidpun menjadi menempel dengan tiga
buah makam.
Dan jingga saat
ini kaum muslimin masih melaksanakan sholat di dalam masjid Nabawi dan tidak
ada satupun orang yang menentang, maka jika suatu perbuatan yang telah
dilakukan kemudian tidak ada penentangan maka perbuatan tersebut menjadi Ijma’
‘amali, dan tidak ada pengharaman sholat di dalam masjid yang bersambung
dengan kamar Sayyidina Rasulullah SAW yang mana di dalam kamar tersebut
terdapat makam jasad suci Nabi Muhammad SAW.
Namun ada
sebagian golongan yang menentang perbuatan ini (membangun masjid yang ada
makamnya.red) dan mereka mengatakan bahwa ini hanya dikhususkan untuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Penolakan terhadap hal tersebut dan klaim
bahwa hukum (boleh membangun masjid yang bersampingan dengan kuburan) ini hanya
khusus untuk Nabi harus mendatangkan dalil pengkhususannya. Namun ternyata
tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah tentang pengkhususan hukum tersebut
hanya bagi Nabi SAW saja. Artinya hukum ini bersifat ‘amm (umum) yaitu
boleh bagi membangun masjid yang terdapat makam dan melaksanakan sholat di
dalamnya.
Sebagaimana
telah kami jelaskan bahwa di dalam masjid Nabawi tidak hanya terdapat makam
Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam saja, namun terdapat juga makam
Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq Rhadiyallahu ‘anhu dan makam Sayyidina
Umar bin Khattab Rhadiyallahu ‘anhu, maka dari sini gugurlah pendapat
orang yang mengatakan bahwa kebolehan membangun masjid yang ada kuburannya
hanya khusus untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja..
Memang, dahulu
tiga makam tersebut hanya sekedar menempel dengan masjid nabawi, namun pada
masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz tiga makam ini dimasukan kedalam wilayah
masjid, dan pada saat itu semua ahli fiqh di kota Madinah sepakat terhadap
rencana peluasan masjid Nabawi yang mengakibatkan tiga makam tersebut bukan
hanya menempel dengan masjid namun juga masuk ke dalam wilayah masjid, akan
tetapi ada satu ulama pada saat itu yang tidak sepakat terhadap rencana
tersebut, beliau adalah Sa’id bin MusayyabRhadiyallahu ‘anhu, namun
ketidak sepakatan beliau terhadap rencana tersebut bukan karena haramnya
memasukan kuburan ke dalam wilayah masjid, akan tetapi penolakannya berdasarkan
keinginannya untuk mengabadikan kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai situs sejarah agar para ummat Islam bisa mengambil contoh dari
kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu zuhud,
dan agar kaum muslimin mengetahui bagaimana kehidupan Nabi mereka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dari sunnah
inilah para kaum muslimin bersepakat dan banyak yang membangun masjid mereka
dan di dalamnya terdapat makam para ahlul bait, orang-orang sholih,
awliyaaullah dan juga makam para ulama, hal ini sudah menjadi kesepakatan
seluruh kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang baik di barat atupun di
timur. Lalu kenapa saat ini muncul sebagian golongan yang mengharamkan
membangun masjid yang ada kuburan di dalamnya dan mengharamkan sholat di
dalamnya dan menghukumi orang yang sholat di dalamnya sebagai orang yang syirik
dan keluar dari iman, dan anehnya lagi mereka menisbatkan diri mereka sebaga Salafi
sedangkan para As-salafu Ash-sholihun justru membolehkan bahkan menghukumi
hal ini sebagai sunnah. Apa yang terjadi kepada golongan ini sehingga mereka
menyelisihi ijma’ muslimiin??? Subhanallhi hadza buhtaanun ‘azhiim.
Di antara sebab
yang menjadikan mereka menghukumi haram terhadap masalah ini adalah kesalahan
mereka memahami hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim rdhiyallahu
‘anhuma:
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: "لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد"[6]
(متفق عليه)
Artinya: Allah
Subhanahu wa Ta’ala melaknat kaum yahudi dan nashroni yang telah menjadikan
kubur Nabi-nabi mereka sebagai tempat sujud. (HR. Bukhori-Muslim).
Para golongan
Salafi Wahabi menjadikan dalil ini sebagai dalil untuk mengharamkan membangun
masjid yang di dalamnya ada kuburan, padahal istimbath mereka terhadap hadits
ini bisa dibilang keliru jika tidak mau dibilang salah. Karena para ulama ahli
hadits yang mu’tabar tidak menganggap hadits ini sebagai larangan membangun
masjid yang di dalamnya ada kubur atau yang bersambung dengan kubur, namun para
Ulama memahami hadits ini sebagai larangan untuk menjadikan kubur para Nabi
sebagai sesembahan kemudian orang-orang menyembah jasad yang ada di dalam
kubur, dan hal ini lah yang dilakukan para yahudi dan nasrani, mereka
menjadikan makam Nabi mereka sebagai sesembahan sehingga mereka dilaknat oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal ini sebagaimana firman ALLAH ‘Azza wa jalla:
( اتّخذوا أحبارهم ورهبانهم اربابا من دون الله والمسيح بن مريم
وما أَمروا إلاّ ليعبدوا إلها واحدا لاّ إله إلا هو سبحانه عما يشركون) (التوبة:
31).
Artinya:
“Mereka menjadikan orang-orang alim di kalangan mereka(yahudi) dan rahib-rahib
mereka (nashroni) sebagai Tuhan selain Allah ta’ala, dan juga Al-masih putra
Maryam; padahal merekapun diperintahkan untuk mnyembah hanya kepada Tuhan yang
Maha Esa; Tidak ada Tuhan selain Dia (Allah). Maha suci Allah dari apa yang
mereka sekutukan. (QS. Attaubah: 31).
Maka inilah
arti sujud yang menyebabkan laknat Allah Ta’ala, atau menjadikannya sebagai
kiblat selain kiblat yang telah disyari’atkan, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh orang Yahudi dan Nasrani. Di mana mereka menghadap ke kuburan dan
menjadikannya sebagai kiblat dalam ibadah dan menyembah para rahib mereka.
Inilah yang dipahami oleh para Ulama tentang hadits yang diriwayattkan oleh
Imam Bukhori dan Imam Muslim di atas (tentang pengharaman menjadikan kubur
sebagai tempat sujud).
Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama ahli hadits, di antaranya adalah:
Asy-syeikh
As-sanadiy menjelaskan hadits ini dalam kitabnya Hasyiyah Assanadi juz 2
halaman 41, beliau berkata: “ dan maksud dari sabda rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu adalah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang ummatnya membuat kubur Nabi SAW seperti apa yang diperbuat
oleh orang Yahudi dan Nasrani terhadap kuburan Nabi-nabi mereka, yaitu para
Yahudi dan Nasrani menjadikan kubur-kubur tersebut sebagai tempast sujud, baik
itu sujud sebagai pengagungan atau menjadikan kubur tersebut sebagai kiblat
untuk ibadah dan yang serupa dengan ibada kepada kubur tersebut. Dam dikatakan:
adapun jika menjadikan masjid di sisi kuburan orang sholih sebagai bentuk
mengharap keberkahan dari Allah Ta’ala dengan wasilah orang sholih tersebut,
maka hal ini TIDAK DILARANG”.[7]
Al-Imam Ibnu
Hajar Al-‘asqolani dan banyak Imam-imam ahli hadits lainnya telah menukil
sebuah penjelasan tentang hadits ini dari Al-Imam Al-baidhowi, beliau berkata:
“ Al-Imam Al-baidhowi berkata: “ketika Yahudi sujud kepada kubur paraa Nabi
mereka baik itu sebagai pengagungan atau menjadikannya kiblat dan sholat
menghadapnya atau seumpama dari hal itu maka mereka menjadikan kubur-kubur Nabi
mereka sebagai berhala-berhala, lalu Allah ta’ala melaknat mereka, dan melarang
kaum muslimin melakukan hal itu dan mencegahnya. Adapun orang yang menjadikan
masjid atau membangun masjid di samping kuburan orang yang sholih atau sholat
di kuburannya dengan MAKSUD meminta bantuan dengan ruhnya (sebagai wasilah) dan
denagn maksud agar ia sampai kepada atsar dari ibadahnya bukan dengan maksud
mengagungkan kuburan itu dan menghadap kepadanya maka hal ini tidak apa-apa
atau tidak haram.[8]
Demikianlah
penjelasan para Ulama ahli hadits, maka selayaknya bagi para Salafi Wahabi
mutasyaddid agar mengetahui bagaimana bentuk pelarangan dalam hadits
tersebut dan siapa yang dilarang dalam hadits tersebut, dan janganlah melihat
kepada apa yang dilakukan oleh ummat Islam lalu mengatakan bahwa hadits itu
datang untuk orang Islam, ini adalah perbuatan kaum Khowarij. Na’udzu
billahi min dzalik, dan hendaknya mereka meletakan dalil sesuai dengan
tempatnya.
Dari penjelasan
di atas jelas bahwa hukum sholat di dalam masjid yang bersampingan dengan makam
maka sholatnya sah atau jika di dalam masjid tersebut di buat bangunan
tersendiri untuk makam di pinggiran masjid atau di depan dengan dibatasi tembok
maka sah juga, adapun jika shalat di masjid dan ada kuburan di dalamnya yang
mana kuburan tersebut tidak terpisah (misal kuburannya di tengah2 masjid) maka
menurut madzhab Hambali sholatnya tidak sah, dah haram, adapun menurut tiga
madzhab yang lain adalah: di makruhkan sholat jika kuburan tersebut ada
dihadapan orang yag sholat tanpa pemisah, karena itu menyerupai dengan sholat
kepada kuburan tersebut. Wallahu a’lam
[1] . Ijma’ adalah kesepakatan seluruh kaum muslimin tentang suatu hukum,
dan ijma’ menempati posisi ke 3 sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan
Assunnah.
[2] . Tafsir Ar-Rozi: Juz 11 hal. 106 cetakan Daarul Fikr tahun 1995.
[3] . Ibnu Abdil barr meriwaytakan hadits ini dalam kitab Al-isti’ab juz 4
hal. 1614, Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam kitab Ath-thobaqoot al-kubro juz. 4
hal. 134, dan masih banyak lagi periwayatan yang lainnya.
[4] .penjelasan beliau tentang hadits ini penulis ambil dari penjelasan
beliau dalam website http://www.dar-alifta.org/f.aspx?ID=327279
(ini adalah jawaban dari beliau terhadap
pertanyaan yang penulis ajukan di website tersebut).
[5]. Al-Muwatho lil Imam Malik, juz. 1 hal. 231.
[6]. Imam Bukhori mentakhrij
hadits ini dalam kitab Shohihnya juz. 1 hal. 446 dan Imam Muslim meriwayatkan
hadits ini dalam kitab Shohihnya juz 1 hal. 376.
[7] . Hasyiyah As-sanadi ,juz. 2, hal. 41.
[8] . penjelasn ini diriwayatkan dalam kitab: fathul baari, juz. 1 hal.
524, Kitab syarah Azzarqoni, juz. 4, hal. 290, dan faidhul qodiir, juz. 4, hal.
366.
2 komentar:
semoga group ini bermanfaat,
terimakasih gan atas penerangan nya
asalamualaikum
Posting Komentar