SELAMAT DATANG DI BLOG IKAPPI (IKATAN ALUMNI PONDOK PESANTREN IBADURRAHMAN)DAN SELALU IKUTI PERKEMBANGAN KAMI DI BLOG INI _SEMOGA SUKSES SELALU UNTUK KITA_

Sabtu, 13 Oktober 2012

0 Tafsir Surat Al-Muthaffifiin (tafsir Mishbah)


Surah al-Muthaffifin


terdiri dari 36 ayat. Kata al-Muthaffifin, yang berarti  'Orang-orang yang curang', diambil dari ayat pertama. 
 
Ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun kumpulan ayat-ayat surah ini. Ada yang menyatakan turun sebelum Nabi saw berhijrah, yakni Makkiyyah, ada juga yang menyatakannya Madaniyyah, yakni turun setelah beliau berhijrah. Kelompok ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat Makkiyyah dan sebagian lainnya Madaniyyah. 
 
Yang Makkiyyah mereka nilai ada delapan ayat dimulai dari ayat 29 sampai dengan ayat 36. Sedemikian beragam pendapat ulama sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam surah ini ada ayat yang merupakan ayat terakhir turun di Makah dan ada pula yang pertama turun di Madinah. Agaknya, pendapat yang menyatakan sebagian ayatnya turun di Makkah dan sebagian di Madinah adalah pendapat yang lebih tepat. 
 
Namanya dalam sekian banyak kitab-kitab hadits adalah surah Wail Li al-Muthaffifin sebagaimana bunyi ayatnya yang pertama dan ada juga yang mempersingkatnya menjadi surah al-Muthaffifin. Tidak ada nama lain baginya kecuali yang disebut di atas. 
 
Tujuan surah ini, menurut al-Biqa'i, adalah penjelasan dari akhir surah al-Infithar yang menegaskan tentang adanya balasan terhadap semua hamba Allah di akhirat nanti, yaitu dengan menempatkan yang taat dan bahagia di surga dan yang durhaka di lubang neraka Jahanam. Ini dibuktikan antara lain oleh penegasan bahwa Tuhan adalah Pemelihara dan Pelimpah aneka nikmat. 
 
Tidak mungkin tergambar dalam benak ada yang memberi aneka anugerah kepada seseorang, lalu orang itu tidak dimintai pertanggungjawaban menyangkut apa yang ditugaskan kepadanya. Nama surah ini al-Muthaffifin yang berarti orang-orang curang dalam menakar dan menimbang. 
 
Surah ini menggambarkan keadaan masyarakat Makkah dan Madinah sebelum dan saat-saat awal kehadiran Islam. Di samping itu, surah ini juga membuktikan bahwa ajaran Islam bukan sekadar aqidah yang tertancap di dalam hati, tetapi ia juga harus membuahkan amal dalam dunia nyata. 
 
Ajaran ini tidak hanya mengawang-awang di udara dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat metafisik tetapi juga harus membumi sehingga keadilan yang dianjurkannya terasa dalam kehidupan keseharian masyarakat. Itu sebabnya secara gamblang surah ini menjanjikan ancaman kecelakaan dan kebinasaan bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan. 
 
Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai surah yang ke-68 dari segiperurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-'Ankabut dan sebelum surah al-Baqarah. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 36 ayat. 


Setelah surah yang lalu ditutup dengan uraian tentang putusnya segala sebab pada Hari Kemudian; bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman tangan Allah; bahwa yang berbakti akan masuk ke surga, sedangkan yang durhaka tempatnya adalah neraka, maka awal surah ini menyebut salah satu kedurhakaan yang paling banyak terjadi dalam hubungan antar manusia, yakni berkhianat menyangkut ukuran dan timbangan.

Allah berfirman: Kecelakaan dan kerugian besar, yakni di dunia dan di akhirat, bagi orang-orang yang curang (1), yaitu antara lain mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan dari orang lain, mereka menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan (2), dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan (3). 

Selanjutnya, tiga ayat berikutnya mengecam sekaligus menggugah hati mereka dengan menyatakan: Tidakkah mereka yang curang itu menduga bahwa mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar lagi dahsyat, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Pengendali semesta alam untuk dimintai pertanggungjawaban atas setiap aktivitasnya? 

Setelah mengecam, ayat 7 dan 8 memperingatkan bahwa berhati-hatilah atau sekali-kali jangan curang dan sadarlah bahwa Hari Kebangkitan pasti datang dan segala amal perbuatan tercatat dan sesungguhnya kitab catatan amal para pendurhaka —termasuk yang melakukan kecurangan dalam interaksi— benar-benar tersimpan dalam sijjin. Sijjin itu sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat terlukiskan oleh kata-kata, tidak juga dapat tergambar oleh benak.

Karena sijjin tidak dapat terjangkau, maka yang dilukiskan adalah kitab amalan manusia durhaka yang tersimpan di sana. Kitab itu menurut ayat 9 adalah kitab yang sungguh dahsyat yang ditulis di dalamnya segala sesuatu dari yang terkecil sampai yang terbesar, tidak satu pun dari aktivitas manusia yang luput dari catatannya, atau kitab yang dahsyat itu bertanda/ bercap sehingga dengan mudah diketahui keburukannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-9

1. Mencurangi pihak lain —Muslim atau non-Muslim— dalam segala macam interaksi, baik ukuran berat,panjang, bilangan, bahkan transaksi apa pun adalah dosa besar. Sedangkan menuntut dan mendesak mitra interaksi sehingga terpaksa melebihkan dari kadar yang semestinya adalah kezaliman yang harus dihindari.

2. Berinteraksi dengan pihak lain baru dapat langgeng jika dijalin dengan sopan santun serta kepercayaan dan amanat antara kedua pihak. Dalam berinteraksi, kedua sifat tersebut melebihi jalinan persamaan agama, suku bangsa, bahkan keluarga.

3. Menduga akan adanya pembalasan Tuhan sudah cukup untuk menghalangi seseorang melakukan penganiayaan dan dosa serta waspada dan hati-hati, apalagi jika yang bersangkutan yakin.

4. Pengingkaran Hari Pembalasan mengakibatkan seseorang enggan melakukan kebaikan bila tidak mendapat ganjaran segera dan juga berani melakukan kejahatan terhadap yang lemah. Sebaliknya, kepercayaan tentang adanya Hari Pembalasan menjadikan seseorang selalu awas dan waspada, dan kalau dia menghadapi orang lemah, maka dia tetap berhitung, bahwa kalau kini dia kuat dan dapat berlaku sewenang-wenang atasnya, maka ada hari di mana semua manusia akan diperlakukan Allah secara adil, dan ketika itu dia terancam mendapat balasan kejahatannya.

5. Sumber kejahatan dan pelanggaran adalah pengingkaran tentang keniscayaan Hari Pembalasan serta pengingkaran kebenaran al-Qur'an.


Setelah menginformasikan tempat kitab amalan para pendurhaka, ayat 10 menjelaskan bahwa kecelakaan yang akan dihadapi para pendurhaka itu akan terjadi pada Hari Pembalasan. Dilanjutkan oleh ayat 11 yang menjelaskan siapa yang dimaksud dengan para pendurhaka serta inti kedurhakaan yang mengantar mereka kepada aneka pelanggaran, mereka itu adalah orang-orang yang senantiasa mengingkari Hari Pembalasan.

Dilanjutkan dengan ayat 12 yang menunjukkan bahwa keniscayaan Hari Pembalasan demikian jelas sehingga tidak ada yang mengingkarinya melainkan setiap pelampau batas lagi pelaku dosa yang sangat terbawa oleh bujukan nafsu dan pemenuhan syahwat. Mereka itu, lanjut ayat 13, adalah siapa saja yang apabila dibacakan kepadanya oleh siapa pun ayat-ayat Allah, dia berkata tanpa berpikir: "Ini adalah dongeng-dongeng, yakni mitos atau legenda, para pendahulu yang tidak memiliki hakikat dan wujud, dan sama sekali bukan firman Allah."

Ayat 14 dan 15 menjelaskan sebab utama dari pandangan mereka itu, Allah berfirman: Sekali-kali Hari Pembalasan dan al-Qur'an tidaklah seperti apa yang mereka katakan, keniscayaan dan kebenarannya sungguh jelas. Mereka berkata demikian karena hati mereka telah tertutup sehingga menjadi bagaikan kaca yang berkarat.

Itu adalah akibat kedurhakaan yang selalu mereka lakukan. Ayat 15 mengulangi sanggahan di atas, tetapi kali ini dengan menyatakan bahwa mereka pada Hari Pembalasan itu benar-benar terhalang dari rahmat dan kebenaran atau terhalang hadir di tempat terhormat di sisi Tuhan. Bukan hanya itu, tapi —lanjut ayat 16 dan 17— sesungguhnya mereka benar-benar akan masuk neraka Jahim. Kemudian, dikatakan kepada mereka oleh siapa pun sebagai ejekan: "Inilah siksa yang dahulu kamu selalu ingkari kebenarannya."

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 10-17

1. Tabiat jiwa manusia pada mulanya adalah suci dan jernih, mampu mengetahui kebenaran sebagaimana apa adanya, serta mampu juga membedakan antara yang hak dan yang batil, ketakwaan dan kedurhakaan.

2. Setiap pelanggaran melahirkan tetesan hitam ke dalam kalbu. Ia tidak terhapus kecuali dengan taubat. Jika pelanggaran berlanjut, maka akhirnya kalbu menjadi hitam, buram, dan berkarat sehingga jiwa terhalangi menerima kebenaran. Yang bersangkutan tersungkur jatuh ke lembah kehinaan akibat ulahnya sendiri. Dengan demikian, ia terhalang dari rahmat dan kebajikan.

3.Kebejatan moral seringkali bermula dari sesuatu yang dinilai kecil dan sepele. Karena itu pula ia seringkali tidak dirasakan kecuali setelah parah. Ia bermula dari satu titik saja dan memang perjalanan jauh ditempuh dengan satu langkah kecil. Bukit yang tinggi bermula dari sebiji pasir.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 18-28)

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan apa yang menanti para pendurhaka, ayat-18 sampai 28 surat ini menjelaskan apa yang menanti mereka yang taat. Allah berfirman: "Sungguh, sesungguhnya kitab catatan amal al-Abrar, yakni orang-orang yang luas kebaktiannya, benar-benar tersimpan dalam 'Illiyyin.*"

Sebagaimana halnya Sijj'n, ‘Illiyyin pun tidak dapat terlukiskan oleh kata-kata, tidak juga dapat tergambar oleh benak, dan karena itu yang dilukiskan adalah kitab amalan yang tersimpan di sana. Kitab itu —menurut ayat 20— adalah kitab yang sungguh hebat dan mengagumkan, kitab yang di dalamnya tercatat segala sesuatu.

Tetapi karena kitab/ catatan amal dimaksud adalah milik hamba-hamba Allah yang berbakti, maka ia dilukiskan oleh ayat 21 sebagai disaksikan oleh makhluk-makhluk yang didekatkan kepada Allah. Selanjutnya, ayat 22 menjelaskan keberadaan mereka dalam kenikmatan, disusul oleh ayat-ayat berikutnya yang menjelaskan aneka kenikmatan yang mereka peroleh, yaitu duduk dengan santai di atas dipan-dipan yang diselubungi oleh selubung halus bagaikan kelambu sambil memandang aneka pemandangan indah ke arah mana pun mereka hendak memandang. Begitu maksud ayat 23 yang dilanjutkan oleh ayat 24, bahwa Engkau —siapa pun engkau yang sempat melihat mereka— dapat mengetahui dari wajah-wajah mereka kecemerlangan nikmat pertanda kesenangan dan kebahagiaan hidup mereka.

Selanjutnya, ayat 25 hingga 27 menjelaskan hidangan yang disuguhkan kepada mereka. Menurut ayat 25, mereka itu dilayani oleh remaja-remaja surgawi dengan hidangan, antara lain, minuman dari khamar surgawi murni yang dilak tempatnya dan tidak dibuka kecuali saat akan diminum; laknya adalah kesturi. Ayat 26 melanjutkan bahwa minuman tersebut benar-benar merupakan puncak kelezatan minuman. Sebelum melanjutkan keterangan tentang sifat minuman itu, ayat 26 mengajak umat manusia untuk meraih kenikmatan itu dengan berlomba melakukan aneka ketaatan kepada Allah dan Rasul saw. Lalu, ayat 27 menjelaskan lagi bahwa campuran khamar murni itu—bila ada yang hendak mencampurnya— adalah dari Tasnîm, yaitu suatu mata air yang merupakan minuman khusus hamba-hamba Allah yang didekatkan kepadaNya.

*'Illiyyin, tempat penyimpanan catatan amal orang-orang berbakti, serta kehadiran atau kesaksian makhluk yang didekatkan Allah terhadapnya adalah hal yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Demikian juga halnya dengan sijjin yang merupakan tempat penyimpanan catatan amal para pendurhaka.

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 18-28
1. Dalam kehidupan dunia banyak hal yang tidak terjangkau oleh nalar, baik hal tersebut berkaitan dengan alam fisika yang nyata, lebih-lebih yang berkaitan dengan alam metafisika (yang tidak nyata). Bila Anda tidak meragukan siapa yang menyampaikannya kepada Anda, maka Anda harus membenarkannya melalui daya kalbu yang antara lain menghasilkan iman.
2. Karena kehidupan ukhrawi—baik nikmat maupun siksanya—tidak dapat dilukiskan, sedang manusia ingin/ perlu mengetahuinya, maka gambaran yang diberikan al-Qur'an adalah yang sesuai dengan kemampuan masyarakat yang ditemuinya. Jadi apa yang dilukiskan oleh ayat al-Qur'an menyangkut nikmat dan siksa belum sepenuhnya serupa dengan lukisan tersebut. Kenikmatan surga jauh melebihinya.
3. Khamar surgawi ditutupi bukan dengan tanah, tetapi dengan kesturi, sehingga kelezatannya semakin sempurna dan dengan aroma yang sangat harum, baik sebelum meminumnya maupun akhir aroma yang muncul setelah meminumnya. Bukan seperti minuman keras di dunia ini!
4. Penghuni surga bertingkat-tingkat. Al-Muqarrabun lebih tinggi derajatnya daripada al-Abrar, karena itu ada minuman khusus yang tersedia buat al-Muqarrabun saja, yaitu tasnim, sedang mereka yang berbakti yang derajatnya lebih dari al-Muqarrabun, hanya dapat mencampurnya dengan minuman lain, yakni rahîqin makhtum.



Setelah ayat-ayat lalu membandingkan perolehan mereka yang durhaka dan yang taat, ayat 29 dan 30 menguraikan sikap para pendurhaka terhadap hamba-hamba Allah yang taat. Mereka yang berdosa itu —dalam kehidupan dunia ini— selalu menertawakan dan melecehkan orang-orang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman itu berjalan di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata untuk menghina dan meremehkan kaum beriman itu.

Selanjutnya, ayat 31 menggambarkan sikap para pendurhaka itu ketika kembali ke keluarga atau kelompok mereka, yakni mereka kembali dengan gembira ria dan lupa diri, dan begitu mereka melihat orang-orang beriman, mereka berkata kepada rekan-rekan mereka bahwa orang-orang beriman itu adalah orang-orang sesat karena meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang nabi dan utusan Allah. Begitu keterangan ayat 32. Mereka berkata demikian—lanjut ayat 33—padahal mereka tidak diutus atau ditugaskan oleh siapa pun menjadi penjaga-penjaga bagi orang-orang beriman, tidak juga ditugaskan memberi penilaian terhadap orang lain.

Setelah penjelasan tentang sikap para pendurhaka di dunia ini terhadap orang-orang beriman, ayat 34 menjelaskan sikap orang-orang beriman terhadap orang-orang di akhirat kelak. Yakni pada hari itu yang beriman menertawakan*) orang-orang kafir yang dulu melecehkan mereka. 

Orang-orang beriman itu—lanjut ayat 35—duduk dengan santai di atas dipan-dipan sambil memandang berbagai pemandangan indah. Begitulah sedikit dari balasan masing-masing. Akhirnya, surah al-Muthaffifin diakhiri dengan suatu pertanyaan yang bertujuan menjelaskan bahwa balasan terhadap para pen durhaka itu sesuai dengan perbuatan mereka, yaitu firman- Nya: Apakah orang-orang kafir telah diberi balasan terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan? (36) Jawaban yang diharapkan tentu saja: "Ya, mereka diberi balasan sesuai dosa-dosa mereka."

*)Tawa orang-orang beriman itu tidak harus dipahami sebagai tawa ejekan terhadap yang tersiksa, tetapi “tawa terpaksa” melihat perlakuan malaikat terhadap orang-orang kafir sehingga menimbulkan tawa. Boleh jadi juga tawa tersebut adalah tawa bahagia dengan aneka nikmat yang mereka alami yang mereka bandingkan dengan siksa dan kecelakaan besar yang dialami oleh orang-orang kafir yang pernah mengejek dan melecehkan mereka. Betapapun ini menunjukkan bahwa balasan di akhirat kelak setimpal dengan dosa yang dilakukan.

Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 29-36

1. Sejak dahulu hingga kini, ada upaya-upaya dari lawan-lawan Islam untuk melecehkan dan menghina ajaran Islam dan kaum Muslim. Ayat-ayat 29 sampai 36 ini mengandung pesan : Jangan goyah dengan pelecehan dan penghinaan orang-orang kafir, lebih-lebih jika pelecehan itu akibat agama dan keyakinan Anda.

2. Jika tidak sependapat dengan agama atau kepercayaan orang lain, maka jangan menghina atau melecehkannya, apalagi bertindak sewenang-wenang terhadapnya, karena seseorang tidak ditugaskan Allah sebagai penjaga yang membatasi kebebasan beragama yang telah Allah anugerahkan kepada setiap orang.

Demikian, Wa Allah A'lam.

0 komentar:

 

ikappi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates