Surah al-Muthaffifin
terdiri
dari 36 ayat. Kata al-Muthaffifin, yang berarti 'Orang-orang yang
curang', diambil dari ayat pertama.
Ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun
kumpulan ayat-ayat surah ini. Ada
yang menyatakan turun sebelum Nabi saw berhijrah, yakni Makkiyyah, ada juga
yang menyatakannya Madaniyyah, yakni turun setelah beliau berhijrah. Kelompok
ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat-ayat Makkiyyah dan sebagian lainnya
Madaniyyah.
Yang Makkiyyah mereka nilai ada delapan ayat
dimulai dari ayat 29 sampai dengan ayat 36. Sedemikian beragam pendapat ulama
sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam surah ini ada ayat yang merupakan
ayat terakhir turun di Makah dan ada pula yang pertama turun di Madinah.
Agaknya, pendapat yang menyatakan sebagian ayatnya turun di Makkah dan sebagian
di Madinah adalah pendapat yang lebih tepat.
Namanya dalam sekian banyak kitab-kitab hadits
adalah surah Wail Li al-Muthaffifin sebagaimana bunyi ayatnya yang pertama dan
ada juga yang mempersingkatnya menjadi surah al-Muthaffifin. Tidak ada nama
lain baginya kecuali yang disebut di atas.
Tujuan surah ini, menurut al-Biqa'i, adalah
penjelasan dari akhir surah al-Infithar yang menegaskan tentang adanya balasan
terhadap semua hamba Allah di akhirat nanti, yaitu dengan menempatkan yang taat
dan bahagia di surga dan yang durhaka di lubang neraka Jahanam. Ini dibuktikan
antara lain oleh penegasan bahwa Tuhan adalah Pemelihara dan Pelimpah aneka
nikmat.
Tidak mungkin tergambar dalam benak ada yang
memberi aneka anugerah kepada seseorang, lalu orang itu tidak dimintai
pertanggungjawaban menyangkut apa yang ditugaskan kepadanya. Nama surah ini
al-Muthaffifin yang berarti orang-orang curang dalam menakar dan menimbang.
Surah ini menggambarkan keadaan masyarakat Makkah
dan Madinah sebelum dan saat-saat awal kehadiran Islam. Di samping itu, surah
ini juga membuktikan bahwa ajaran Islam bukan sekadar aqidah yang tertancap di
dalam hati, tetapi ia juga harus membuahkan amal dalam dunia nyata.
Ajaran ini tidak hanya mengawang-awang di udara
dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat metafisik tetapi juga harus membumi
sehingga keadilan yang dianjurkannya terasa dalam kehidupan keseharian
masyarakat. Itu sebabnya secara gamblang surah ini menjanjikan ancaman
kecelakaan dan kebinasaan bagi mereka yang curang dalam takaran dan timbangan.
Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai
surah yang ke-68 dari segiperurutan turunnya. Ia turun sesudah surah
al-'Ankabut dan sebelum surah al-Baqarah. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 36 ayat.
Setelah
surah yang lalu ditutup dengan uraian tentang putusnya segala sebab pada Hari
Kemudian; bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman tangan Allah; bahwa yang
berbakti akan masuk ke surga, sedangkan yang durhaka tempatnya adalah neraka,
maka awal surah ini menyebut salah satu kedurhakaan yang paling banyak terjadi
dalam hubungan antar manusia, yakni berkhianat menyangkut ukuran dan timbangan.
Allah berfirman: Kecelakaan dan kerugian besar,
yakni di dunia dan di akhirat, bagi orang-orang yang curang (1), yaitu antara
lain mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan dari orang lain, mereka
menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta
dilebihkan (2), dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang
mestinya mereka berikan (3).
Selanjutnya, tiga ayat berikutnya mengecam
sekaligus menggugah hati mereka dengan menyatakan: Tidakkah mereka yang curang
itu menduga bahwa mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar lagi
dahsyat, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Pengendali semesta
alam untuk dimintai pertanggungjawaban atas setiap aktivitasnya?
Setelah mengecam, ayat 7 dan 8 memperingatkan
bahwa berhati-hatilah atau sekali-kali jangan curang dan sadarlah bahwa Hari
Kebangkitan pasti datang dan segala amal perbuatan tercatat dan sesungguhnya
kitab catatan amal para pendurhaka —termasuk yang melakukan kecurangan dalam
interaksi— benar-benar tersimpan dalam sijjin. Sijjin itu sendiri adalah
sesuatu yang tidak dapat terlukiskan oleh kata-kata, tidak juga dapat tergambar
oleh benak.
Karena sijjin tidak dapat terjangkau, maka yang
dilukiskan adalah kitab amalan manusia durhaka yang tersimpan di sana . Kitab itu menurut
ayat 9 adalah kitab yang sungguh dahsyat yang ditulis di dalamnya segala
sesuatu dari yang terkecil sampai yang terbesar, tidak satu pun dari aktivitas
manusia yang luput dari catatannya, atau kitab yang dahsyat itu bertanda/
bercap sehingga dengan mudah diketahui keburukannya.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-9
1. Mencurangi pihak lain —Muslim atau non-Muslim—
dalam segala macam interaksi, baik ukuran berat,panjang, bilangan, bahkan
transaksi apa pun adalah dosa besar. Sedangkan menuntut dan mendesak mitra
interaksi sehingga terpaksa melebihkan dari kadar yang semestinya adalah
kezaliman yang harus dihindari.
2. Berinteraksi dengan pihak lain baru dapat
langgeng jika dijalin dengan sopan santun serta kepercayaan dan amanat antara
kedua pihak. Dalam berinteraksi, kedua sifat tersebut melebihi jalinan
persamaan agama, suku bangsa, bahkan keluarga.
3. Menduga akan adanya pembalasan Tuhan sudah
cukup untuk menghalangi seseorang melakukan penganiayaan dan dosa serta waspada
dan hati-hati, apalagi jika yang bersangkutan yakin.
4. Pengingkaran Hari Pembalasan mengakibatkan
seseorang enggan melakukan kebaikan bila tidak mendapat ganjaran segera dan
juga berani melakukan kejahatan terhadap yang lemah. Sebaliknya, kepercayaan
tentang adanya Hari Pembalasan menjadikan seseorang selalu awas dan waspada,
dan kalau dia menghadapi orang lemah, maka dia tetap berhitung, bahwa kalau
kini dia kuat dan dapat berlaku sewenang-wenang atasnya, maka ada hari di mana
semua manusia akan diperlakukan Allah secara adil, dan ketika itu dia terancam
mendapat balasan kejahatannya.
5. Sumber kejahatan dan pelanggaran adalah
pengingkaran tentang keniscayaan Hari Pembalasan serta pengingkaran kebenaran
al-Qur'an.
Setelah
menginformasikan tempat kitab amalan para pendurhaka, ayat 10 menjelaskan bahwa
kecelakaan yang akan dihadapi para pendurhaka itu akan terjadi pada Hari
Pembalasan. Dilanjutkan oleh ayat 11 yang menjelaskan siapa yang dimaksud
dengan para pendurhaka serta inti kedurhakaan yang mengantar mereka kepada
aneka pelanggaran, mereka itu adalah orang-orang yang senantiasa mengingkari
Hari Pembalasan.
Dilanjutkan dengan ayat 12 yang menunjukkan bahwa
keniscayaan Hari Pembalasan demikian jelas sehingga tidak ada yang
mengingkarinya melainkan setiap pelampau batas lagi pelaku dosa yang sangat
terbawa oleh bujukan nafsu dan pemenuhan syahwat. Mereka itu, lanjut ayat 13,
adalah siapa saja yang apabila dibacakan kepadanya oleh siapa pun ayat-ayat
Allah, dia berkata tanpa berpikir: "Ini adalah dongeng-dongeng, yakni
mitos atau legenda, para pendahulu yang tidak memiliki hakikat dan wujud, dan
sama sekali bukan firman Allah."
Ayat 14 dan 15 menjelaskan sebab utama dari
pandangan mereka itu, Allah berfirman: Sekali-kali Hari Pembalasan dan
al-Qur'an tidaklah seperti apa yang mereka katakan, keniscayaan dan
kebenarannya sungguh jelas. Mereka berkata demikian karena hati mereka telah
tertutup sehingga menjadi bagaikan kaca yang berkarat.
Itu adalah akibat kedurhakaan yang selalu mereka
lakukan. Ayat 15 mengulangi sanggahan di atas, tetapi kali ini dengan
menyatakan bahwa mereka pada Hari Pembalasan itu benar-benar terhalang dari
rahmat dan kebenaran atau terhalang hadir di tempat terhormat di sisi Tuhan.
Bukan hanya itu, tapi —lanjut ayat 16 dan 17— sesungguhnya mereka benar-benar
akan masuk neraka Jahim. Kemudian, dikatakan kepada mereka oleh siapa pun
sebagai ejekan: "Inilah siksa yang dahulu kamu selalu ingkari
kebenarannya."
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 10-17
1. Tabiat jiwa manusia pada mulanya adalah suci
dan jernih, mampu mengetahui kebenaran sebagaimana apa adanya, serta mampu juga
membedakan antara yang hak dan yang batil, ketakwaan dan kedurhakaan.
2. Setiap pelanggaran melahirkan tetesan hitam ke
dalam kalbu. Ia tidak terhapus kecuali dengan taubat. Jika pelanggaran
berlanjut, maka akhirnya kalbu menjadi hitam, buram, dan berkarat sehingga jiwa
terhalangi menerima kebenaran. Yang bersangkutan tersungkur jatuh ke lembah
kehinaan akibat ulahnya sendiri. Dengan demikian, ia terhalang dari rahmat dan
kebajikan.
3.Kebejatan moral seringkali bermula dari sesuatu
yang dinilai kecil dan sepele. Karena itu pula ia seringkali tidak dirasakan
kecuali setelah parah. Ia bermula dari satu titik saja dan memang perjalanan
jauh ditempuh dengan satu langkah kecil. Bukit yang tinggi bermula dari sebiji
pasir.
Intisari Kandungan Ayat (Ayat 18-28)
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan apa yang
menanti para pendurhaka, ayat-18 sampai 28 surat ini menjelaskan apa yang menanti mereka
yang taat. Allah berfirman: "Sungguh, sesungguhnya kitab catatan amal
al-Abrar, yakni orang-orang yang luas kebaktiannya, benar-benar tersimpan dalam
'Illiyyin.*"
Sebagaimana halnya Sijj'n, ‘Illiyyin pun tidak
dapat terlukiskan oleh kata-kata, tidak juga dapat tergambar oleh benak, dan
karena itu yang dilukiskan adalah kitab amalan yang tersimpan di sana . Kitab itu —menurut
ayat 20— adalah kitab yang sungguh hebat dan mengagumkan, kitab yang di
dalamnya tercatat segala sesuatu.
Tetapi karena kitab/ catatan amal dimaksud adalah
milik hamba-hamba Allah yang berbakti, maka ia dilukiskan oleh ayat 21 sebagai
disaksikan oleh makhluk-makhluk yang didekatkan kepada Allah. Selanjutnya, ayat
22 menjelaskan keberadaan mereka dalam kenikmatan, disusul oleh ayat-ayat
berikutnya yang menjelaskan aneka kenikmatan yang mereka peroleh, yaitu duduk
dengan santai di atas dipan-dipan yang diselubungi oleh selubung halus bagaikan
kelambu sambil memandang aneka pemandangan indah ke arah mana pun mereka hendak
memandang. Begitu maksud ayat 23 yang dilanjutkan oleh ayat 24, bahwa Engkau
—siapa pun engkau yang sempat melihat mereka— dapat mengetahui dari wajah-wajah
mereka kecemerlangan nikmat pertanda kesenangan dan kebahagiaan hidup mereka.
Selanjutnya, ayat 25 hingga 27 menjelaskan
hidangan yang disuguhkan kepada mereka. Menurut ayat 25, mereka itu dilayani
oleh remaja-remaja surgawi dengan hidangan, antara lain, minuman dari khamar
surgawi murni yang dilak tempatnya dan tidak dibuka kecuali saat akan diminum;
laknya adalah kesturi. Ayat 26 melanjutkan bahwa minuman tersebut benar-benar
merupakan puncak kelezatan minuman. Sebelum melanjutkan keterangan tentang
sifat minuman itu, ayat 26 mengajak umat manusia untuk meraih kenikmatan itu
dengan berlomba melakukan aneka ketaatan kepada Allah dan Rasul saw. Lalu, ayat
27 menjelaskan lagi bahwa campuran khamar murni itu—bila ada yang hendak
mencampurnya— adalah dari Tasnîm, yaitu suatu mata air yang merupakan minuman
khusus hamba-hamba Allah yang didekatkan kepadaNya.
*'Illiyyin, tempat penyimpanan catatan amal
orang-orang berbakti, serta kehadiran atau kesaksian makhluk yang didekatkan
Allah terhadapnya adalah hal yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Demikian
juga halnya dengan sijjin yang merupakan tempat penyimpanan catatan amal para
pendurhaka.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 18-28
1. Dalam kehidupan dunia banyak hal yang tidak
terjangkau oleh nalar, baik hal tersebut berkaitan dengan alam fisika yang
nyata, lebih-lebih yang berkaitan dengan alam metafisika (yang tidak nyata).
Bila Anda tidak meragukan siapa yang menyampaikannya kepada Anda, maka Anda
harus membenarkannya melalui daya kalbu yang antara lain menghasilkan iman.
2. Karena kehidupan ukhrawi—baik nikmat maupun
siksanya—tidak dapat dilukiskan, sedang manusia ingin/ perlu mengetahuinya,
maka gambaran yang diberikan al-Qur'an adalah yang sesuai dengan kemampuan
masyarakat yang ditemuinya. Jadi apa yang dilukiskan oleh ayat al-Qur'an
menyangkut nikmat dan siksa belum sepenuhnya serupa dengan lukisan tersebut.
Kenikmatan surga jauh melebihinya.
3. Khamar surgawi ditutupi bukan dengan tanah,
tetapi dengan kesturi, sehingga kelezatannya semakin sempurna dan dengan aroma
yang sangat harum, baik sebelum meminumnya maupun akhir aroma yang muncul
setelah meminumnya. Bukan seperti minuman keras di dunia ini!
4. Penghuni surga bertingkat-tingkat.
Al-Muqarrabun lebih tinggi derajatnya daripada al-Abrar, karena itu ada minuman
khusus yang tersedia buat al-Muqarrabun saja, yaitu tasnim, sedang mereka yang
berbakti yang derajatnya lebih dari al-Muqarrabun, hanya dapat mencampurnya
dengan minuman lain, yakni rahîqin makhtum.
Setelah
ayat-ayat lalu membandingkan perolehan mereka yang durhaka dan yang taat, ayat
29 dan 30 menguraikan sikap para pendurhaka terhadap hamba-hamba Allah yang
taat. Mereka yang berdosa itu —dalam kehidupan dunia ini— selalu menertawakan
dan melecehkan orang-orang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman itu
berjalan di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata untuk
menghina dan meremehkan kaum beriman itu.
Selanjutnya, ayat 31 menggambarkan sikap para
pendurhaka itu ketika kembali ke keluarga atau kelompok mereka, yakni mereka
kembali dengan gembira ria dan lupa diri, dan begitu mereka melihat orang-orang
beriman, mereka berkata kepada rekan-rekan mereka bahwa orang-orang beriman itu
adalah orang-orang sesat karena meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang
nabi dan utusan Allah. Begitu keterangan ayat 32. Mereka berkata
demikian—lanjut ayat 33—padahal mereka tidak diutus atau ditugaskan oleh siapa
pun menjadi penjaga-penjaga bagi orang-orang beriman, tidak juga ditugaskan
memberi penilaian terhadap orang lain.
Setelah penjelasan tentang sikap para pendurhaka
di dunia ini terhadap orang-orang beriman, ayat 34 menjelaskan sikap
orang-orang beriman terhadap orang-orang di akhirat kelak. Yakni pada hari itu
yang beriman menertawakan*) orang-orang kafir yang dulu melecehkan mereka.
Orang-orang beriman itu—lanjut ayat 35—duduk
dengan santai di atas dipan-dipan sambil memandang berbagai pemandangan indah.
Begitulah sedikit dari balasan masing-masing. Akhirnya, surah al-Muthaffifin
diakhiri dengan suatu pertanyaan yang bertujuan menjelaskan bahwa balasan
terhadap para pen durhaka itu sesuai dengan perbuatan mereka, yaitu firman-
Nya: Apakah orang-orang kafir telah diberi balasan terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan? (36) Jawaban yang diharapkan tentu saja: "Ya, mereka
diberi balasan sesuai dosa-dosa mereka."
*)Tawa orang-orang beriman itu tidak harus
dipahami sebagai tawa ejekan terhadap yang tersiksa, tetapi “tawa terpaksa”
melihat perlakuan malaikat terhadap orang-orang kafir sehingga menimbulkan
tawa. Boleh jadi juga tawa tersebut adalah tawa bahagia dengan aneka nikmat
yang mereka alami yang mereka bandingkan dengan siksa dan kecelakaan besar yang
dialami oleh orang-orang kafir yang pernah mengejek dan melecehkan mereka.
Betapapun ini menunjukkan bahwa balasan di akhirat kelak setimpal dengan dosa
yang dilakukan.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 29-36
1. Sejak dahulu hingga kini, ada upaya-upaya dari
lawan-lawan Islam untuk melecehkan dan menghina ajaran Islam dan kaum Muslim.
Ayat-ayat 29 sampai 36 ini mengandung pesan : Jangan goyah dengan
pelecehan dan penghinaan orang-orang kafir, lebih-lebih jika pelecehan itu
akibat agama dan keyakinan Anda.
2. Jika tidak sependapat dengan agama atau
kepercayaan orang lain, maka jangan menghina atau melecehkannya, apalagi
bertindak sewenang-wenang terhadapnya, karena seseorang tidak ditugaskan Allah
sebagai penjaga yang membatasi kebebasan beragama yang telah Allah anugerahkan
kepada setiap orang.
0 komentar:
Posting Komentar